![]() |
Foto: Panturapost.com
|
Tiba-tiba saja mereka berduyun-berduyun. Berdatangan dalam satu waktu di malam hari: Jumat Kliwon.
Kedatangan para wisatawan ke Pemandian Air Panas Guci hanya untuk merasakan malam itu. Merasakan suasanya juga merasakan air panasnya.
Tak ada ritual khusus seperti ziarah, barangkali, atau hajat tertentu. Barangkali mereka hanya digerakkan oleh malam yang menurut orang Jawa dianggap sakral itu.
Demikian seorang pedagang di Gerbang Pemandian Air Panas Guci, Tegal, Jawa Tengah, bercerita kepada saya. Perempuan itu menjual gorengan dan aneka minuman hanya setiap malam Jumat Kliwon.
Saya memesan gorengan, kopi panas, dan susu hangat. Di sela-sela menikmati hidangan, saya menyempatkan diri bertanya. Dia menjawab.
"Sejak dulu memang begitu. Hanya malam Jumat Kliwon yang ramai. Kalau malam-malam biasa, sepi," katanya.
Pemandian Air Panas Guci malam itu, Kamis (15/11), memang terlihat ramai. Para pengunjung hilir mudik. Di parkiran, kendaraan roda dua dan roda empat berjejer rapi. Petugas parkir mengaturnya sedemikian rupa.
Para pengunjung di sambut para pedagang yang berderet di sepanjang jalan. Setiap dari mereka tak henti-hentinya menawarkan tempat untuk nongkrong dan menikmati hidangan. Mulai dari penjual gorengan, sate kelinci, jagung bakar, dan beragam jenis minuman ringan.
Sebagian pengunjung ada yang memilih singgah. Namun, ada juga yang hanya lewat. Entah apa yang mereka inginkan dari malam Jumat Kliwon di Pemandian Air Panas Guci selain mandi atau nongkrong.
Jumat Kliwon di Guci tidak bermakna sakral. Tetapi malam lebaran bagi para pedagang untuk meraup rizki untuk menyambung hidup dari hari ke hari.
Selamat Malam Tegal, Selamat Tinggal Guci. Sampai ketemu di lain hari. Kisahku kutinggal di sini, kisahmu kubawa pergi. Lain waktu aku ingin kisah yang baru dan kubawa lagi kisahku yang lain
Cakpin
[Tegal, 15 November 2018]
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2051273454933616&id=100001529455253
KOMENTAR