![]() |
Ilustrasi: indosuara.com
|
Hari Selasa, 11 September 2012, semua Siswa/siswi bergegas hendak pulang cepat karena besok libur. Tentunya mereka telah merencanakan hari libur bersama keluarga, teman, ataupun hanya sekadar memanjakan dirinya sendiri. Jika istilah anak muda sekarang sebagai "my me time".
Tak terkecuali Mhartha. Gadis berjaket putih ini juga ikut bergegas mengejar teman-temnnya yang pulang. Bang Malik, seorang satpam dan bapak satu orang anak itu tersenyum melihat tingkahnya, Ia adalah rekan sekolah salah satu keluargaku.
“Ta, gugup sekali kamu, tumben? Kaya mau ngejar siap gitu.” Tanya Bang Malik iseng di depan gerbang sekolah.
Seketika Mhartha berheti dan wajahnya berubah gundah. Pertanyaan itu seolah menghina dirinya, tak ada salahanya jika dia bergegas pulang seperti teman sekolah lainya yang sudah punya pasangan. Apa karena aku terlihat masih sendiri, sehingga itu membuatnya sedih.
"Hemm... Enggak Bang, lagi pengin cepet balik aja, kelihatanya langit mulai gelap, tampaknya mau hujan." Jawab Mhartha datar sambil berjalan pelan.
“Oalah, iya gelap kaya kesendirianmu, saya kira ada yang lagi nungguin kamu." Bang Malik terawa lepas.
Jawaban itu kembali membuat kacau hati Mhartha. Ia bergegas lair dan terika "Kekasih yang mejemputku telah pergi setahun yang lalu, di sudah punya anak satu." Perasaannya dipenuhi rasa kesal dan amarah.
Sepanjang perjalanan Mhartha hanya diam malas berkata-kata, dia bergegas dan bertemu rekan kelasnya Shinta di jalan. Hal itu juga yang mebuat Shinta ragu dan canggung untuk memulai bertanya. Shinta menyetop mobil tiga per emapt (E-lep) arah Bumiayu, Berebes yang penumpangnya hampir penuh.
Besok mau liburan, orang dan siswa/i dari Tegal kota pasti ramai. Jam segini tidak ada pilihan, menunggu angkutan kosong mustahil ada, semua sudah menyerbu dari segala penjuru, meskipun kendaraan itu terlihat mau oleng. Inilah kita anak sekolah dengan harga murah meriah, rute jauh dekat.
Mau lebih cepat, naiklah ojek atau minta jeput. Hanya saja sebagai seoarang pelajar dengan uang saku pas-pasaan akan berfikir berkali-kali untuk menikinya. Lebih baik naik yang murah meskipun menegangkan, bahkan Itu lebih menegangkan saat perempuan ketahuan memakai kerudung terbalik.
Mhartha menaiki bus mini (E-lep) yang di stop Shinta. Ia mengikutik Shinta masuk ke tegah kerumunan para penumpang di sela-sela barisan kursi yang sempit. Shinta yang sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu tidak pikir panjang dan pusing. Shinta justru tidak berhenti memandang Mhartha dengan rasa ingin tahu mengapa teman sekolahnya galau, gundah beberapa minggu ini.
Sontak ia menarik lengan Mhartha dengan sigap, ketika mobil E-lep itu melwati terminal kecil Yamansari (Yomani). Mhartha bergegas mengikuti temnya yang sudah mencapai pintu keluar bus mini itu.
“Yomani... Yomani... Yomani...! Ayo Dek cepet mudun.” Kondektur E-lep itu turun menghantarkan sampai ke tepi jalan sebelahnya.
“Mhartha, awas ada motor!” Teriak Shinta ketika mereka melintasi jalan menuju pertigaan arah Desa Lebakgowah menunggu mobil Oren. Mhartha terkejut melihatnya, saat motor itu melesat kencang di depanya.
“Allah Hu Akbar, hampir saja! Huufff...” rintihnya sambil berjalan.
“Makanya hati-hati, sini biar aku yang di depan," Tampak merasa kesal hadir di wajah Shinta.
Mhartha terdiam "Hei, ayo naik mobil lagi." sambil menyetop angkot berwarna Oren.
Mereka akhirnya naik dan duduk di kursi besi panjang yang sudah ditempati beberapa penumpang. Mharta memerhatikan orang-orang yang ada di hadapannya. Sebagian besar merupakan siswa bersongkok hitam, namun juga ada beberapa pedagang dengan wajah penuh peluh. Mhartha memerhatikan setiap orang yang ada di depannya.
“Allah Hu Akbar. Ya Allah, di manakah jodoh, san kekasihku itu...?” Ia berbisik merintih lirih.
Begitu banyak laki-laki, dimanakah dia, akankah dia bertahan untuku selama emapa atau sembilan tahun lagi? Pertanyaan itu mengusik Mharta.
“Mharta, kamu kenapa? Minggu-minggu ini sepertinya kamu tidak semangat hidup saja.” Shinta bertanya sesekali memandang wajahnya dengan tajam. Ia merasakan cemas dengan keadaan Mhartha yang terlihat semakin memburuk pada hari itu.
“Nnggg... Nggak... Ohh... nggak papa kok...” tersendan suaranya, gugup, dan kepalanya merunduk.
"Kamu pasti sedang ada masalah, ceritakan dong," Tanya Shinta dengan suara lirih.
“Aku... Aku cuma sedang banyak pikiran saja, atau ada yang sedang saya pikirikan...”
Mharta memandang wajah Shinta, canggung rasanya tidak kuat untuk menceritakan. Shinta mencoba tersenyum tulus memandang wajah Mharta, seolah itu mengisyaratkan bahwa dia siap membantu beban pikiran yang menggangu Mharta.
“Shin, kini aku berhadapan dengan posisi yang rumit, aku sendiri tidak mengerti ini fase kehidupan apa. Semua seolah telah menghantuiku." Mharta berhenti berkata, tersendat suaranya.
Shinta meraih dua pundaknya, ia menggerakan tanganya sebagai tanda simpati. "Aku selalu berpikir tentang sesuatu yang akan terjadi kelak, kini pikiranku seakan rumit untuk dipecahkan permasalahnya.
Shinta diam, lalu ia menghelai napas panjangnya. Menunggu jawaban itu keluar dari mulut Mharta. Dia menunggu bergeming hingga memaksa Mharta menjawab sendiri.
“Aku memikirkan tentang pernikahan Agustus mendatang, pernikahan orang yang dulu berjanji akan bersamaku sampai mati bersamaku.”
“Mharta...” Shinta memandang raut wajahnya yang mulai bercampur marah memerah.
“Aku... aku lelah Shin. Kini aku seperti dihantui tekanan. Aku seolah di kejar-kejar. Banyak sekali tuntutan kedua orang tuanya, apa lagi keluarga." Suara Mhartha tercekat oleh emosinya yang meninggi.
Mobil yang ia tunggangi berhenti di depan SD Negeri 01 Lebakgowah, Mhartha melangkah perlahan bersama air matanya yang sudah siap mengenangi pelupuknya. Shinta terpaku melihatnya, sedangkan ia terus meremas tangan Shinta semakin kuat.
"Saya sudah bilang sejak dulu padanya, berjuang untuk mempertahankan itu lebih sulit, dari pada berjuang di awal memilihmu. Aku juga sadar, dan semakin paham, ternyata pernikahan itu bukanlah kesucian cinta, tapi pernikahan itu ialah pernikahan kecantikan dan harta," gumanya sambil menerima kepedihan itu.
Hal itu memang tidak sulit baginya untuk di lupakan, bertahun-tahun menderita, tapi setelah sekian lama itu, dia menikah dengan orang lani yang Mentereng, beradat, berlembaga, kayaraya, dan bermandi emas setiap hari. Apalah kuasaku, kini dia telah beristri, Agustus lalu, di desa Lebakgowah tempat masa kecil dan perjalanan kisah kasihku saat itu.
"Tapi aku tidak boleh kalah dengan semua ini...?” Kata-kata yang meluncur dari mulut Mhartha keluar tak beraturan, saling menghakimi satu sama lain.
“Mhartha, kamu harus kuat dan sabar. Sebelumnya, aku harus bilang selamat datang di masa sebenarnya, yaitu masa kekuatan hati akan terus di uji. Kamu tak lagi bisa berlarut dalam kesengsaraan hati, bukalah hatimu, untuk apa penderitaanmu itu, dia disana bahagia bersama Istrinya, tapi kamu menderita,"
Sinta terus meberi saran. kuatkanlah hatimu, kamu harus berani bertanggung jawab atas konsekuensi yang diputuskan orang lain, meskipun itu sakit. Kamu sekarang perempuan dewasa yang kuat, sekarang harus menghadapi dunia yang nyata, kamu harus membuat pilihan untuk hidupmu dan orang-orang disekelilingmu.
"Lupakanlah, biarkan alam dan hidup ini yang ikut menghukumnya dan menjawab semua itu. Yang ada, kamu mengerti juga bahwa sesungguhnya pernikahan itu juga bukan dari kemauannya sendiri. Tapi, orang tuanya, bahkan tidak hanya orang tuanya keluarganya, semua lingkungannya mengamini dengan alasan agar dia hidup bahagia. Sekarang tunjukanlah pada hidupmu ini, tunjukkan sebagai saksi untuk desa ini, bahwa kekasihmu yang kini telah pergi akan bertanya-tanya siap dia yang sebenarnya.” Ucapan Shinta panjang dan begitu dalam.
*Bersambung
Regosonline
Penulis: S.I/ Junior, Menginjak Bumi, Dkk. S.R (Penulis saat ini aktif di Gerakan Keplik Berdikari ) Keplik Indah Rt. 01.02 Rw.VI Desa Lebakgowah
Admin: S.R/T
KOMENTAR