Berangkat dari asal kata desa yang dalam bahasa Sansekerta deca yakni tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), desa memiliki makan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga dengan sistem pemerintahan sendiri.
Tetapi bagi saya, desa bukan hanya sebatas wilayah yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri. Desa dalam konteks otonomi daerah bisa dimaksudkan sebagai kesatuan masyarakat yang utuh, dengan struktur yang murni berdasarkan hukum, hak, dan asal-usul yang bersifat istimewa.
Jika di lihat pada keputusan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa ialah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah serta berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dengan ketentuan berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, hak tradisional dan serta dihormati melalui sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka, bisa kita pahami bersama bahwa desa juga memiliki kekuatan untuk mengatur pembangunannya secara mandiri, termasuk kewenangan dan kebijakan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional.
Artinya, desa dalam membangun, masyarakatnya juga memiliki hak  tidak hanya sebagai objek, masyarakat juga bisa menjadi  subjek pembangunan, dalam hal ini membangun dan mensejahterakan diri mereka melalui kebijaksanaan pemerintah.
Nafas Panjang
Terbentukanya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 juga menjadi nafas panjang para elit desa untuk mengoptimalkan pembangunan yang bemanfaat.
Salah satu pembahasan yang strategis dari UU Desa sendiri ialah desa sebagai subjek pembangunan. Yakni, terdiri dari konsolidasi program/kegiatan desa, konsolidasi dan penguatan kelembagaan, perencanaan, anggaran, dan penguatan mekanisme keterwakilan tingkat lokal.
Secara teknis, mewujudkan UU Desa tersebut juga membutuhkan mekanisme perencanaan pembangunan, seperti susunan rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Tahunan.
Sumber daya di desa memanglah melimpah, tetapi tetap saja desa jiga harus seimbang meskipun ruang geraknya terbatas. Sumber daya finansial, contohnya yang berkaitan dengan APBN tentu harus mampu merata dan sesuai program yang akan dijalankan.
Maka, penting untuk mengkaji prosedur dalam perencanaan pembangunan desa. Sebenarnya hal ini juga diatur dalam UU Desa, yakni dengan mengikutsertakan masyarakat desa, yang membuat Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Kemampuan masyarakat tentunya juga di pertanyakan urusan mengajukan potensi dan masalah. Meskipun nyatanya, masyarakat tersebutlah yang seharusnya benar-benar paham tentang potensi dan masalah pembangunan di lingkungannya.
Ilmu pengetahunan bisa menjadi pijakan, dalam hal ini yakni perencanaan pembangunan, termasuk tata cara pelaksanaannya, umumnya sampai saat ini terbatas pada perangkat pemerintahan desa saja.
Terdapat sebuah hal yang terlewatkan dari proses tersebut, yakni kurangnya kemampuan masyarakat desa dalam mengajukan program pembangunan yang sesuai, dengan berasaskan pengetahuan mengenai tata cara yang mengikuti kaidah yang telah ditetapkan.
Maka dari itu, diperlukan sebuah transfer pengentahuan atau pemberian pemahaman tentang hal tersebut di lingkungan masyarakat. Hal ini dilakukan melalui mekanisme yang bisa jadi tambahan dalam sistem perencanaan yang seharusnya. Dan apabila tidak memungkinkan, maka diperlukan metode di luar sistem tersebut.
Regosonline
Penulis: Pengabidan Muhammad Tulus (Penulis saat ini aktif di Gerakan Keplik Berdikari) Keplik Indah Rt. 01.02 Rw.VI Desa Lebakgowah
Admin: S.R/T
KOMENTAR