Kita semua selalu sibuk dengan dunia yang membentuk satu wajah (one dimantion man), tak punya waktu untuk diri sendiri, keluarga, orang tua dan anak-anak kita. Jelasanya semua, mereka bebas berjalan dan berselancar sendiri seperti di tengah hutan, mereka dibiarkan tanpa kontrol dan pengawasaan di belatara digital.
Belantara digital yang memaksa dan menjadi teman bermain artifisial, membuat mereka bersahabat dengan hantu-hantu hiburan media sosial, televisi dan slapstick tak mendidik. Kita sebut saja mereka seperti yatim piatu kebudayaan atau hasil dari prodak budaya pop yang tak humanis, harmonis, nirmakan, kapitalis dan penuh desakan kamuflase pembohong.
Inilah yang disebut sebagai histeria konversi dalam hidup. Kita semua pernah merayakannya dan event itu adalah event maya yang tak bertemu dan tak akan nyata. Ekspresi dari senyum bahagia, tawa, tangisan di benak sampai ekspresi cemberut dan marah muncul dari simbol emotikon yang kita ambil sebagai pilihan dan itu semua adalah kepalsuan semata.
Semuanya menjadi tidak mengerti apa yang terjadi di atas kenyataan sebenarnya, mereka cenderung lebih memenitngkan bergaul, bergabung, berbaur dan menimbrung menjadi bagian satu dimensi, baris-berbaris, bergrombolan hanya pertemuan yang bisa terjalin menjadi teman, pernah, atau pengikut yang sejatinya tidak benar- benar mengetahuinya.
Di sini lah muncul hasil dari silaturahami, pertemanan dan persahabatan yang hanya di ukur dari uji jumlah angka. Di ruang maya ini, yang tak punya teman pun ada yang rela membeli "teman" atau dalam hal ini follower yang diperjual belikan karena tak mau sendiri, tak di kenal, dan itu semua berarti ia tidak eksis serta buakan siapa-siapa. Itulah sebenarnya di ruang maya, semua sedang berlomba-lomba.
Eksitensialisme atau eskitensi diri kini sudah ditentukan oleh ukuran semua itu, juga oleh bentuk tombol like, retweet atau share atas postingan-postingan yang terlah dilakukan, kita sendiri juga terus berharap ada yang mengikuti. Maka, gaya selfie dan tiktok kini menjadi ekspresi, viral yang akhirnya menjadi bukti perhatian warga maya sehingga muncul para influencer di kolom komentar baik dalam bentuk positif maupun negatif.
Semuanya kemudian melahirkan bentuk polarisasi yang sebelunya tidak terpikirkan dan banyak efek yang terjadi. Semua tanpa batas, bisa berbicara, pengamata sendiri, berpendapat dan bahkan bisa menciptakan analisi sendiri. Dunia maya menjadikan masyarakat vritual dan global kian riuh, bising dan chaos karena semua orang kini di ruang maya tak mau sepi, sunyi dan sendiri tanpa teman.
Konstruksi rangkain dialektis itu membentuk sebuah elemen baru yakni adanya hubungan komunikasi di ruang maya, dan membentuk pergaulan kita selama ini dengan yang lainnya. Maka, akan menjadi hal yang lumrah jika tata masyarakat maya turut-ikutan menjadi Bising dan riuh, sebagai contoh, misalnya saat kita hendak memilih wakil dan pemimpin kita, prosenya begitu riuh dan bising penuh dengan kegaduan tanpa jeda.
Nalar masyarakat maya terpotert dari hasil konvoi massa dengan gambar di media, beriringan dengan janji-janji yang di keluarkan oleh calon tiap-tiap yang di gunakan partai dan tertulis di kanal media. Diruang nyata pesepeda motor penuhi jalanan dengan kenalpot butut memekak telinga, semkin keras suarnaya seolah-olah meningkatkan niatan politik yang ingin ingin diwujudkan.
Riuh dan bising saat ini terjadi di ruang maya adalah munculnya virus korona, di ruang maya virus ini menjadi teror bagi dunia dan Indonesia. Pemerintah Indonesiapun harus berhati-hati karena kini virus itu tak lagi mermabah faktor fisik manusia, yang pasti bergejolak dan berdampak politis terutama disektor ekonomi. Di sini reaksi panik publik bisa sulit karena semua orang sedang berusaha melindungi diri, tetapi panik dan bising ditengah terjangan ketidakpastian di ketidakpastian keraguan terus berjalan.
Maka, marilah kita refleksi bahwa kini telah dianggap semuannya, jeda dari kejadian itu demi tentramanya publik. Kembali pada prinsip dan dasar utama yakni beroda, mendengar suara hati, dan rohani kita, yang selama ini terkubur dan tertindih oleh segala bentuk kegaduahan sehingga melupakan pemilik alam semseta. Merefleksi kembali agar bisa menjadi manusia yang berkualitas, yang mampu menyusun kehidupan bersama dengan lebih baik dan berguna untuk agama, bangsa, dan negara.
Boeh Mohamad
KOMENTAR