Bagi orang yang sedang merantau, pulang ialah kerinduan yang tak tertahankan. Karena sampai saat ini ada yang tidak kunjung pulang bukan karena sulit, melainkan tabiatnya sendiri dalam menghadapi situasi.
Pulang, itulah kata yang menjadi fokus dipikiran saat seorang anak menceritakan jalan hidup yang jauh dari kerumunan orang. Sabtu malam satu bulan yang lalu, kami berbicara di trotoar jalan dekat penjual martabak dari Tegal. Namun, kami bukan seperti mereka yang hidup dijalanan seperti apa yang dikatakan penjual martabak itu. Apa enakanya jika memandang yang universal terasa terpetak-petakan, sementara yang jauh sedang merindukan pulang demi kedamaian?
Ada yang mernung, ada yang gembira, dan ada yang mulai murung. Mestinya di era yang serba canggih ini tak ada keresahan untuk bisa kembali pulang, kata teman saya.
Tetapi, rupanya sudah terlalu banyak yang dipikirkan, sampai muncul menjadi argumen meresahakan. Rupanya mereka dan kita sedang dalam kehidupan yang bisa dikatakan sebagai medan berbahaya. Bukan dunia baru, apa lagi harapan untuk menuju rumah yang indah. Kini kita mulai rindu kampung halaman.
Itulah rumah yang merawat perdamaian, ruamah dimana orang-orang besar dilahirkan. Ada yang setuju dan sebaliknya menerima semua sebagai karunia, harmonisai yang menjadi sarat kepedulian. Ada yang datang menghujat tanah kelahiran yang sedang tak ramah, terlembih dari banyaknya ujaran tanpa dasar yang kian meluas.
Pandangan lainpun muncul, biar menjadi kesenangan sekalipun tetap fanatis. Seperti laporan anak dari kampung halaman, misalnya, keramahan sedang redup maka perlu dikembalikan terhadap mereka yang telah berjuang menyatukan. Diamkah kita semua?
Umumnya, tak ada lag tempat bagi mereka yang menyebar kebencian, saling sindir, dan membentuk opini yang dangkal. Patut dikembalikan arahnya, kita pernah berjuang bersama melwati batas keinginan dan cita-cita untuk persatuan dan persaudaraan. Hanya saja, tetap ada sayart sekalipun amat ketat selain memahami perbedaan yang telah menjadi ketetapan.
Di masa tertentu, kita juga perlu mengingat pahit, manis, dan pusing tentang saudara-saudara yang bisa pulang tanpa kesadaran jiwa dan raga. Mengingat pendirian sampai tercipta persaudaraan yang utuh jarus diciptakan. Di rumah, kita ketahui tidak ada pendiri dan pahalawan, namun mereka yang hidup lebih dahulu dari kita sekarang mempunyai cita-cita luhur untuk mempersatukan kita, yang terdiri dari berbagai jenis manusia dan pemikiran-pemikiranya.
Senagai mana Pancasila misalya, ia kokoh dan kuat sebagai dasar negara yang tetap dicanangkan dalam satu sila yang menjunjung tinggi persatuan yaitu sila ke tiha yang berbunyi "Persatuan Indonesia".
Bhinneka Tunggal Ika disuarakan, meki ada yang belum memahaminya seperti makna dasarnya ialah berbeda beda tetapi tetap satu. Tanda persatuan pun semakin nyata dirasakan beserta dengan semangat persatuan para pahlawan yang memiliki cita-cita untuk memerdekakan dan mempersatukan tanah air hingga terbentuk realisasinya.
Sudah begitu banyak pondasi awal yang telah dibangun sejak Indonesia memerdekakan diri dari hadirnya ketidaknyamanan dan rasa damai. Pondasi untuk mempersatukan segala aspek kebangsaan juga teramat kuat. Tetapi apakah pondasi tersebut tetap berdiri kokoh sampai zaman serba media online ini?
Apakah cita-cita luhur anak dari desa dan pesan para terdahulu bisa terwujud? Apakah realitas persatuan tercipat saat ini? Jawabannya tentu "Sebagian IYA!" "Sebagian Tidak!". Alasan yang bisa di ajukan ialah, semua terjadi karena momen, suasana dan situasi, jika mencoba untuk merenunginya sejenak dan berkaca pada proses yang telah terlewati dalam hal-hal yang besifat positif. Maka, akan terurai untuk kembli pulang mengingat perjuangan bersama dan melupakan hal yang negatif, yang kemudian negatif itu bisa menjadi pelajaran.
Sehingga tidak lagi terjebak dimasa lalu san cukup menjadi bahan evaluasi bersama.
Penulis: Anak Kecil Mandiri, Menginjak Bumi, Dkk. S.R (Penulis saat ini aktif di Gerakan Keplik Berdikari ) Keplik Indah Rt. 01.02 Rw.VI Desa Lebakgowah.
Admin: S.R/T
KOMENTAR